Jumat, Mei 29, 2009

Pengaruh Televisi Bagi Masyarakat Indonesia

Benjamin Olken, ekonom dari MIT, beberapa tahun lalu pernah meneliti pengaruh televisi di kalangan rumah tangga Indonesia. Kita tahu bahwa pulau Jawa adalah daratan yang terdiri dari sejumlah gunung dan dataran tinggi. Akibatnya ada wilayah yang mendapatkan sinyal televisi bagus namun ada juga yang terperangkap bayangan dataran tinggi sehingga penerimaan sinyalnya terbatas.

Olken mensurvei lebih dari 600 desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta membandingkan antara desa yang bisa menjangkau sedikit dengan desa yang bisa menerima banyak saluran televisi. Hasilnya cukup menarik. Setiap bertambah satu channel televisi yang bisa dilihat, maka rata-rata mereka menonton televisi lebih tujuh menit lebih lama. Ketika survei ini dilakukan, hanya ada 7 stasiun televisi nasional. Kalau survei tersebut dilakukan saat ini, bisa jadi waktunya akan bertambah besar.

Temuan lain yang tak kalah menarik adalah di pedesaan dengan penerimaan sinyal televisi yang lebih bagus menunjukkan adanya tingkat partisipasi kegiatan sosial yang lebih rendah. Artinya, orang lebih suka menonton televisi daripada terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Lebih dari itu, di pedesaan tersebut juga terlihat adanya tingkat ketidakpercayaan yang lebih tinggi di antara penduduk yang berakibat pada lesunya kerjasama perekonomian dan perdagangan.

Olken adalah orang yang sangat jarang menonton televisi namun merasa heran ketika melihat kecanduan orang Indonesia terhadap kotak hitam tersebut. Katanya, “I’ve been in many, many households in Indonesia that have a dirt floor, but they also have a television.” Ironis memang.

Senada dengan Olken, saya berpendapat bahwa maju tidaknya suatu bangsa bisa dilihat salah satunya dari tayangan televisinya. Alasannya:

  1. Consumerism and materialism is killing nature. Dua hal tersebut merupakan jargon yang senantiasa didendangkan televisi dalam setiap detik tayangannya. Padahal, mengkonsumsi dan membeli lebih sedikit barang-barang (terutama yang sifatnya non-essential) tidak hanya menghemat anggaran tetapi juga meminimumkan dampak negatif terhadap lingkungan.
  2. Living with social pressure. Televisi mengajarkan kita untuk living the way society wants it, not the way we want (need) it. Identitas diri kita bukan lagi apa yang ada dalam hati dan pikiran kita, tetapi menjadi apa yang didiktekan oleh televisi. TV menyiarkan A, besoknya kita ikut-ikutan A. TV mendengungkan B, kita merasa malu kalau tidak ikut B.

Memang bisa dimaklumi kalau uang lagi-lagi jadi alasan. Rumah produksi ingin membuat acara berbiaya rendah tapi laku keras. Orientasi komersial jadi prioritas ketimbang kualitas acara. Karenanya wajar jika sinetron dan (un)reality show masih menjadi primadona. Sekali sinetron digemari, sekuelnya segera dibuat—-karena risikonya lebih kecil daripada harus membuat judul baru. Ketika Playboy Kabel dianggap sukses, maka Katakan Cinta, Truk Cinta, Cinta Monyet, Mak Comblang, Cinta Lokasi, Backstreet, Pacar Pertama, Harap-harap Cemas, Termehek-mehek, dan sebagainya langsung mencuat.

Jadilah kemudian lingkaran setan yang susah diputus. Produser membuat acara berdasar rating. Rating dibuat karena basis jumlah penonton. Rating acara-acara semacam itu biasanya cukup tinggi yang berarti bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang “bandel” menonton acara semacam itu. Kalau acara-acara semacam itu masih menjamur, artinya harus diakui bahwa selera mayoritas masyarakat kita masih begitu rendah.

Sebaliknya, mungkin ada juga orang-orang dunia hiburan yang ingin membuat tayangan berkualitas namun lagi-lagi terbentur rating. Serial Arisan atau Jomblo mungkin cukup seru dan bermutu, namun harus bubar jalan. Barangkali ada yang pernah berniat membuat acara seperti Animal Planet atau National Geography namun terbentur biaya tinggi dan rating yang rendah. Akibatnya iklan yang masuk minim dan pengeluaran pastinya lebih besar daripada pemasukan.

Belum lagi tayangan kuis tengah malam yang nakal menggoda atau iklan SMS interaktif yang menawarkan berbagai “keuntungan” bagi Anda. Dengan kualitas tayangan yang babak belur, mereka bisa jor-joran beriklan. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan mereka cukup lumayan. Nyatanya mereka makin menjamur dan berkembang dengan variasi yang begitu banyak. Mau tahu ramalan masa depan Anda? Ketik REG spasi omong kosong, kirim ke XXXX. :)

Tahun lalu, kabarnya Indosiar merugi cukup besar hingga Rp 24 miliar gara-gara kurang mampu mengikuti “tren.” Sebaliknya, RCTI (dan MNC secara umum) menangguk untuk yang sangat menggiurkan karena cepat menangkap peluang di pasar.

Ini memang sudah menjadi pembodohan terselubung yang dilakukan secara berjamaah. Kalau sudah begini, solusinya cuma dua. Pertama, sebisa mungkin minimalkan waktu Anda dan keluarga untuk menonton televisi dan batasi hanya untuk program-program tertentu saja. Kedua, pemerintah mustinya lebih keras membatasi tayangan televisi. Misal, 40% tayangan televisi harus bersifat edukatif dan sinetron dan infotainment masing-masing hanya boleh 20% dan 5% saja. Kalau perlu, Kelompencapir di era Soeharto dibuat episode baru karena toh sebagian besar penduduk kita adalah petani.

Orang sering mengeluh bahwa jaman sekarang kepentingan-kepentingan asing begitu agresif menjajah bangsa ini. Salah besar. Menurut saya justru penjajahan dilakukan oleh orang kita sendiri yang sama sekali tak peduli dengan masa depan bangsanya.

Bagaimana menurut Anda?

Pendidikan Indonesia terbaik di dunia?


Pendidikan terbaik di dunia? Bukan Harvard, bukan Amerika, juga bukan Inggris, apalagi Indonesia — melainkan Finlandia, negeri yang paling tidak korup di muka bumi ini. Hebatnya, Finlandia tak cuma jagoan mendidik anak-anak “normal,” tapi juga unggul dalam pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Pendek kata, Finlandia berhasil membuat seluruh anak didiknya cerdas — tak peduli yang normal atau yang lemah mental.

Finlandia mengalahkan 40 negara lain di dunia berdasar survei PISA yang dilakukan oleh OECD tahun 2003. Tes komprehensif dilakukan melalui pengukuran kemampuan mathematics, reading, science, dan problem solving yang nantinya ditujukan untuk peningkatan kualitas sistem pendidikan. Tes ini dilakukan per tiga tahun — tes terakhir dilakukan pada tahun 2006 dan hasilnya baru akan keluar akhir 2007. Mau tahu di mana posisi Indonesia?

Perolehan Skor

Mathematics (rata-rata 484,84)

  • Hong Kong-China (550,38)
  • Finlandia (544,29)
  • Korea Selatan (542,23)
  • Belanda (537,82)
  • Liechenstein (535,80)
  • …..
  • …..
  • Brazil (356,02)
  • Tunisia (358,73)
  • Indonesia (360,16)
  • Mexico (385,22)
  • Thailand (416,98)

Reading (rata-rata 480,22)

  • Finlandia (543,46)
  • Korea Selatan (534,09)
  • Kanada (527,91)
  • Australia (525,43)
  • Liechtenstein (525,08)
  • …..
  • …..
  • Tunisia (374,62)
  • Indonesia (381,59)
  • Mexico (399,72)
  • Brazil (402,80)
  • Serbia (411,74)

Science (rata-rata 487,77)

  • Finlandia (548,23)
  • Jepang (547,64)
  • Hong Kong-China (539,50)
  • Korea Selatan (538,43)
  • Liechtenstein (525,18)
  • …..
  • …..
  • Tunisia (384,68)
  • Brazil (389,62)
  • Indonesia (395,04)
  • Mexico (404,90)
  • Thailand (429,06)

Problem Solving (rata-rata 485,20)

  • Korea Selatan (550,43)
  • Hong Kong-China (547,89)
  • Finlandia (547,61)
  • Jepang (547,28)
  • Selandia Baru (532,79)
  • …..
  • …..
  • Tunisia (344,74)
  • Indonesia (361,42)
  • Brazil (370,93)
  • Meksiko (384,39)
  • Turki (407,53)

Skor Total (rata-rata 484,51)

  • Finlandia (545,90)
  • Korea Selatan (541,29)
  • Hong Kong-China (536,83)
  • Jepang (531,79)
  • Liechtenstein (528,87)
  • …..
  • …..
  • Tunisia (365,69)
  • Indonesia (374,55)
  • Brazil (379,84)
  • Meksiko (393,56)
  • Thailand (422,73)

Resep Sukses Finlandia

Dari segi anggaran, Finlandia agak sedikit lebih tinggi dari negara lain — walau bukan yang tertinggi. Kegiatan sekolah juga hanya 30 jam per minggu. Tapi guru-guru di Finlandia adalah pilihan dengan kualitas terbaik. Untuk menjadi guru jauh lebih ketat persaingannya ketimbang melamar Fakultas Hukum atau Kedokteran. Guru juga diberi kebebasan dalam kurikulum, text-book, hingga metode pengajaran dan evaluasi.

Sistem pendidikan Finlandia memang unik. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan tapi untuk perbaikan. Orientasi dibuat untuk tujuan-tujuan yang harus dicapai. Penekanan ada di proses, bukan hasil. PR dan ujian tak musti dikerjakan dengan sempurna — yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa.

Sejak awal, murid diajari bertanggung jawab mengevaluasi dirinya sendiri. Mereka didorong untuk bekerja secara independen. Guru tidak mesti selalu mengontrol mereka. Proses pembelajaran berjalan dua arah. Suasana sekolah boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel, dan menyenangkan. Namun efektif.

Guru juga tak pernah mengkritik murid yang justru dinilai membuat murid malu dan menghambat proses pembelajaran itu sendiri. Murid “boleh” berbuat kesalahan, namun guru akan memintanya untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya. Memang tak ada sistem ranking di sini sehingga siswa merasa confident dan nyaman terhadap dirinya. Ranking dipandang hanya membuat guru berfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan ke seluruh murid.

Finlandia sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Di Finlandia, perbedaan antara murid berprestasi baik dan murid yang kurang sangatlah kecil. Kata seorang guru di Finlandia, “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya!”

Sedangkan di Indonesia malah ada sejumlah guru dan kepala sekolah yang dengan bangga tidak menaikkelaskan anak didiknya. Gagal mendidik kok bangga.

Pendidikan di Indonesia

Menikmati pendidikan belasan tahun di Indonesia membuat saya miris. Penilaian berorientasi hasil, bukan proses. Pembinaan mengabaikan EQ dan SQ. Isinya hafalan, cara cepat membabat soal, dan “ilmu” yang ketika diingat malah makin membuat lupa — tanpa penekanan soal pemikiran kritis dan pembentukan sikap mental positif. Trilogi dasar aspek pendidikan kognitif-psikomotor-afektif (sengaja?) diabaikan.

Di Indonesia, kualitas guru di Indonesia juga masih (maaf) memprihatinkan. Lulusan sekolah menengah yang jempolan biasanya lari ke tempat yang mentereng: Ilmu Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Praktis, mereka yang masuk Ilmu Pendidikan adalah “sisa” yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit.

Contoh lain adalah UAN yang baru saja lewat beberapa waktu lalu. Sesuai PP 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan. Namun banyak yang menilai UAN tak bermanfaat karena hanya mengkondisikan penyelewengan — demi anak didik dan sekolah terangkat citranya. Guru, kepala sekolah, dan bahkan pejabat daerah terlibat jadi tim sukses. Passing grade ditetapkan, tapi sarana, prasarana, dan sumberdaya belum terkondisikan. Begitu hasil jeblok, segala cara agar murid lulus, bukan dengan introspeksi. We want to look good, but didn’t want to be really good.

Sebagian menyayangkan jerih payah tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas diterima SPMB Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, tapi gagal dalam UAN. Murid cerdas justru terbebani mentalnya. Apalagi, andaikata tak lulus, mereka musti mengulang Paket C yang prestisenya kalah jauh. Dorongan belajar pada akhirnya justru sulit dibangkitkan dan hasil maksimal mustahil diperoleh.

Di sisi lain, kualitas pendidikan memang sedemikian rendahnya. Dengan passing grade yang cukup rendah dibanding negara tetangga, masih banyak juga yang tidak lulus. Ketika ada wacana untuk menaikkan standar, protes di sana-sini. Solusinya? Mungkin kembalikan saja ke sistem Ebtanas lama yang dirasa lebih “fair” dan tidak mengundang banyak masalah — sembari menunggu format UAN yang benar-benar pas buat negeri ini.

Atau, sebelum UAN, misalnya sekolah mengadakan seleksi intern sehingga hanya benar-benar murid yang siap yang bisa mengikuti UAN. Atau, UAN dilakukan dengan beberapa passing grade: yang nilainya sekian bisa mendaftar S1, yang sekian hanya bisa mendaftar diploma, yang kurang bisa mengulang tahun depan. Di Singapura, hanya murid tertentu yang qualified yang bisa lanjut S1, sementara sisanya masuk ke program diploma/poltek (atau TAFE kalau di Australia).

Atau, mencontek di negara maju, murid yang lulus UAN mendapat ijasah UAN, sementara yang tidak hanya memperoleh ijasah sekolah atau tanda tamat belajar. Di Inggris misalnya, setelah pendidikan wajib 16 tahun, murid bisa langsung kerja atau ambil A-Level selama dua tahun untuk persiapan kuliah. Di akhir program ada tes nasional dimana murid yang mendapat nilai A pada mata pelajaran utama bisa langsung masuk universitas favorit seperti Oxford, Cambridge, Imperial College, dan sebagainya.

Yang jelas, jika KBK/KTSP diterapkan, kita semua musti konsisten. Evaluasi harus berdasarkan proses. UAN tak perlu dipaksakan sebagai penentu kelulusan. Tapi sejauh mana kesiapan kita (terutama di daerah) untuk menerapkannya? Itu PR kita bersama.

Political Will Pendidikan Indonesia

MENANTI “POLITICAL WILL” PEMERINTAH
DI SEKTOR PENDIDIKAN

Oleh: Pan Mohamad Faiz *)

“I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eridication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.

Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. A. Kondisi dan Keterpurukan Pendidikan Indonesia Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat 2 (dua) indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004. Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus - CITD 1999). Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, termasuk negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. B. Investasi Bangsa Jangka Panjang Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan pun dan di manapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting dikarenakan masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang dan jauh ke depan. Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih. Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.

C. Anggaran Pendidikan dalam Bingkai Hukum Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada 2 (dua) hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang. Kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan. Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

D. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations” memaknai judicial review sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap sepele oleh siapa pun. Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945. Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD. Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005, Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara expres verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap, faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN. Tanpa menambah atau mengurangi satu kata pun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut:
  1. Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan lemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.
Jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk tindak kesengajaan atas pengingkaran kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Dapat kita bayangkan, jika kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam tahun 2007 tentu jauh dari harapan. Bahkan, terkait dengan alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengatakan bahwa Pemerintah hanya akan menaikkan anggaran pendidikan maksimal menjadi 10 persen dari APBN. Hal itupun ditegaskan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya dihadapan anggota DPR dan DPD bahwa pada tahun 2007 nanti sektor pendidikan hanya akan mendapatkan alokasi sebesar 10,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Rencana kebijakan tersebut diambil dengan berlindung pada salah satu argumentasi utama bahwa pemerintah sudah mendasarkan komitmen untuk tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk periode 2006 sehingga anggaran pendidikan tidak dapat seluruhnya dipenuhi. Menjadi pertanyaan kita bersama, hanya inikah jalan keluar yang dapat dipikirkan oleh Pemerintah guna mengatasi krisis pendidikan nasional? Rencana menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya guna menghindar ”vonis mati” dari Mahkamah Konstitusi telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak cukup serius dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan harus dipandang tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 (the spirit of constitution) dan moralitas konstitusi (constitutional morality). Dengan kata lain, penulis sangat yakin jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka masih akan terjadi pelanggaran konstitusi secara berjamaah pada tahun-tahun anggaran mendatang dan bisa dipastikan akan kembali terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah saat ini. E. Problematika Anggaran Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi. Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas ketidakmampuan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional obligation) dengan menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan kondisi “tragis” bangsa ini adalah hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan tersebut selalu dijadikan dalih. Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond). Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”. Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien. Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan penundaan untuk “menerbitkan” badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar. Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya. F. Political Will Untuk mengkaji mengenai pelaksanaan kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan, penulis mengajak untuk sekedar melakukan refleksi kembali perjalanan dunia pendidikan dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”. Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme. Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian. Lalu bagaimana dengan politik pendidikan Indonesia sekarang ini? Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan, dan anggaran pendidikan. Masih segar juga di ingatan kita, ketika masa kampanye Pemilihan Umum berlangsung beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000 guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik, sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan William Lowe Boyd (1994) dalam "Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight From Democracy". Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, sebenarnya institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.

Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek, yang sedikit menaruh kecurigaan bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam dan money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.

Negara-negara pada belahan Eropa Barat, melalui Socrates, menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya mereka menilai bahwa intelektualitas adalah nilai pendidikan yang paling tinggi (the intellectual virtues are assigned the highest rank in the hierarchy of virtues). Anita Lie dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” mengemukakan bahwa untuk memajukan dunia pendidikan dibutuhkan suatu komitmen dan kemauan yang kuat dari tampuk kepemimpinan nasional.

Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi negara berkembang terbesar kedua di Asia setelah China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.

Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana pembelajaran seperti media pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya, seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen.

Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi yang total mencapai triliunan rupiah. Laporan ini juga selalu menempatkan Departemen Pendidikan sebagai departemen terkorup nomor dua setelah Departemen Agama. Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.

G. Post Scriptum

Dari deskripsi di atas, kinerja pendidikan nasional Indonesia memang buruk dan memprihatinkan. Itu semua terjadi dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, beberapa diantaranya dapat terlihat jelas dari pengalokasian anggaran pendidikan yang rendah dan kurang memadai, manajerial keuangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak kunjung membaik, output SDM yang kurang kompetitif, dan sebagainya.

Sektor pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan, maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebab, apabila seruan hanya ditujukan untuk terpenuhinya dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan besar-besaran. Akhirnya, baik anggaran pendidikan yang besar maupun kecil sama-sama tidak memperbaiki mutu pendidikan nasional, juga tidak mengurangi beban masyarakat.

Dalam konteks ini, kita perlu berlapang dada tanpa rasa malu sebagaimana Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan memajukan pendidikannya, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International, Malaysia yang pada tahun 1970 belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri, Jepang telah menjadi negara industri terkemuka di dunia, India mampu memainkan peranannya di berbagai tingkatan Internasional, dan Malaysia lambat laun mulai menjadi capital bagi Asia Tenggara.

Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa (character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi memajukan pendidikan Indonesia.

Tiga Modal Dasar Memasuki Dunia Kerja

Ada banyak elemen kecakapan yang mesti dikuasai oleh setiap insan yang hendak memasuki dunia kerja, namun terdapat tiga modal dasar yang kiranya amat penting untuk dimiliki.

Pertama, karakter atau budi pekerti yang luhur atau integritas moral yang kokoh. Inilah elemen yang selalu akan membuat kita mampu berkarya dalam naungan etika kerja yang kuat dan benar. Sebuah elemen paling kritikal dan mesti dirajut dalam setiap langkah kerja kita manakala kita hendak menjadi seorang profesional yang bermartabat.

Kedua, positive mindset. Inilah elemen yang akan membuat kita selalu memandang diri kita dan lingkungan sekitar dengan kacamata yang positif. Sebuah elemen yang selalu membuat kita optimis dan yakin akan tercapainya sasaran kerja dan tujuan hidup yang telah dirancang. Sebuah etos kerja yang selalu melihat problem sebagai sebuah tantangan yang pasti ada solusinya, dan bukan sebagai media untuk berkeluh kesah. Etos atau mentalitas positive mindset ini pula yang akan memuat setiap insan selalu bisa merajut kegigihan dan ketekunan dalam berusaha – dan kita tahu, kegigihan merupakan elemen kunci dalam merengkuh setiap jejak kesuksesan.�

Ketiga, learning spirit. Atau, semangat untuk terus mau belajar. Di tengah dinamika perubahan iklim bisnis yang terus berderap dan tantangan pekerjaan yang makin kompleks, kita dengan mudah bisa terpelanting saat kita enggan menebar benih untuk terus mau belajar mengembangkan diri. Bersikap terbuka, selalu memelihara constructive curiosity, serta rajin mengambil ilmu dari beragam sumber adalah elemen-elemen yang akan membuat kita terus bisa mengasah learning spirit kita.

Bergaul di Lingkungan Kerja

Pergaulan di lingkungan kerja memang berbeda dengan pergaulan di luar lingkungan kerja. Pergaulan di luar kantor umumnya tidak bersifat formil. Karena anda tidak terikat dengan peraturan-peraturan dan prosedur baku. Sedangkan di kantor atau perusahaan, pergaulan lebih bersifat resmi. Apalagi di kantor ada tingkatan jabatan, mulai level terendah sampai level pimpinan.

Sehingga ada peraturan tak tertulis mengenai cara bergaul dengan masing-masing tingkatan. Tentu saja bergaul dengan bos berbeda bila dibanding bergaul dengan rekan sejawat. Begitu pula bergaul dengan bawahan. Terlebih di perusahaan yang sangat birokratis, seperti di pemerintahan, tata cara pergaulan menjadi sangat penting di banding pergaulan di lingkungan perusahaan yang lebih mementingkan kreativitas.

Tetapi nggak perlu bingung. Dimanapun anda berada, anda memang dituntut untuk pandai bergaul. Karena kepiawaian anda bergaul juga merupakan salah satu hal yang mendukung kesuksesan karir anda. Dalam hal ini di lingkungan kerja, anda tidak bisa bersikap sama rata terhadap semua orang. Cara anda menjalin hubungan dengan dengan setiap rekan di kantor sangat bergantung dari konsep diri anda di dalam lingkungan.

Tempatkan diri anda sesuai dengan posisi anda. Tentu saja terhadap bos anda harus memiliki sikap hormat dan respek. Tetapi bukan berarti anda tidak menghormati rekan selevel dengan anda. Karena pada intinya, kunci dalam pergaulan adalah saling menghormati dan menghargai. Sedangkan kepada level di bawah anda, anda juga tidak mesti minta dihormati. Jika anda bisa menghargai dan menghormati orang lain, apapun pangkat dan jabatannya, otomatis orangpun akan menaruh hormat pada anda.

Hanya saja anda bisa lebih santai jika bergaul dan bicara kepada rekan sejawat jika dibanding dengan bos. Terhadap bos atau orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya dari anda, anda harus lebih menjaga tata krama dan kaidah yang berlaku, seperti cara bicara dan bertegur sapa. Sedangkan kepada bawahan, anda harus lebih menjaga wibawa tanpa kehilangan sikap familiar anda.

Semakin mampu anda menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, maka semakin mudah pula anda memenuhi tuntutan pergaulan dalam level manapun. Anda akan lebih rileks dalam menjalin hubungan dengan orang-orang di lingkungan kantor anda. Tentu saja ini menguntungkan anda bukan? Selain anda tidak kesulitan bergaul, anda pun memiliki banyak teman. Sehingga anda tidak akan merasa asing di lingkungan kerja anda sendiri. Dampaknya anda akan lebih 'enjoy' bekerja dan lebih bersemangat merintis karir.

Masalah Pendidikan Di Indonesia

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikandi Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globslisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan Negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan Negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karana itu, kiata seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.

Setelah kita amati, Nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan yang akan kami paparkan kali ini adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.

2.1 EFEKTIFITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanak pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunya kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

2.2 EFISIENSI PENGAJARAN DI INDONESIA

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih stendar hasil yang telah disepakati.

Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbiara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Selain itu, masalah lain efisienfi pengajarn yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.

2.3 STANDARDISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.

Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)

Tinjauan terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.

Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.

Selasa, Mei 19, 2009

Peran Pendidikan Menuju bangsa Yang Bermartabat

Pada pertemuan Better Education Through Reformed Management And Universal Teacher Upgrading (BERMUTU), 29 Januari 2009 di Hotel Kaisar Jakarta, Prof. Dr. SUDJARWO, M.S., menyampaikan pemikirannya tentang “Peran Pendidikan Menuju Bangsa yang Bermartabat.

Dikatakannya bahwa mendidik merupakan usaha sadar manusia mengorganisir lingkungan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi proses pembelajaran. Mengorganisir lingkungan adalah upaya sadar dengan melihat potensi lingkungan kemudian merespon peserta didik sehingga terjadi transformasi menuju pada terbentuknya proses pembelajaran.

Untuk membentuk proses pembelajaran yang berkualitas diperlukan partisipasi yang tinggi dari semua penyelenggara pendidikan. Dalam hal ini, terdapat dua kata kunci pokok yang harus diperhatikan guna keberhasilan pendidikan: (1) Anggaran pendidikan yang memadai dari pemerintah dan (2) Partisipasi guru, murid dan orang tua/masyarakat. Anggaran pendidikan adalah bentuk tanggungjawab negara terhadap warganya yang diatur oleh undang-undang. Negara yang peduli dengan generasi masa depan bangsanya akan memprioritaskan anggaran pendidikan pada anggaran belanja negaranya.

Terkait dengan partisipasi guru, Sudjarwo menyebutkan bahwa apapun pembaharuan pendidikan dilakukan jika tidak menyentuh apa yang digelar guru di muka kelas, maka pembaharuan dan apapun namanya tidak berarti apa-apa. Sementara terkait dengan partisipasi murid, proses pendidikan tidak akan berjalan jika tidak ada kesadaran dari peserta didik bahwa proses pembelajaran itu orientasinya ada pada peserta didik itu sendiri, bukan pada pendidik. Apapun pembaharuan pendidikan jika peserta didik tidak menyadari tugas dan fungsinya maka tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Berkenaan dengan tanggungjawab orang tua/masyarakat, penyelenggaraan pendidikan tidak mungkin hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah saja tanpa partisipasi masyarakat.

Secara skematik, model Peran Pendidikan Menuju Bangsa Yang Bermartabat dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

model peran pendidikan

Dari pemaparannya ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Martabat bangsa dapat diwujudkan apabila mutu penyelenggaraan pendidikan menjadiprioritas.
  2. Martabat bangsa akan terwujud jika semua elemen bangsa peduli terhadap pendidikan
  3. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja
  4. Inventasi bidang pendidikan memerlukan dana yang besar dan waktu yang lama.