Political Will Pendidikan Indonesia
MENANTI “POLITICAL WILL” PEMERINTAH
DI SEKTOR PENDIDIKAN
Oleh: Pan Mohamad Faiz *)
“I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eridication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.
Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. A. Kondisi dan Keterpurukan Pendidikan Indonesia Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat 2 (dua) indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004. Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus - CITD 1999). Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, termasuk negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. B. Investasi Bangsa Jangka Panjang Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan pun dan di manapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting dikarenakan masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang dan jauh ke depan. Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih. Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.C. Anggaran Pendidikan dalam Bingkai Hukum Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada 2 (dua) hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang. Kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan. Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
D. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations” memaknai judicial review sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap sepele oleh siapa pun. Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945. Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD. Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005, Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara expres verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap, faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN. Tanpa menambah atau mengurangi satu kata pun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut:
- Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan lemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.
Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek, yang sedikit menaruh kecurigaan bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam dan money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.
Negara-negara pada belahan Eropa Barat, melalui Socrates, menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya mereka menilai bahwa intelektualitas adalah nilai pendidikan yang paling tinggi (the intellectual virtues are assigned the highest rank in the hierarchy of virtues). Anita Lie dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” mengemukakan bahwa untuk memajukan dunia pendidikan dibutuhkan suatu komitmen dan kemauan yang kuat dari tampuk kepemimpinan nasional.
Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi negara berkembang terbesar kedua di Asia setelah China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.
Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana pembelajaran seperti media pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya, seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi yang total mencapai triliunan rupiah. Laporan ini juga selalu menempatkan Departemen Pendidikan sebagai departemen terkorup nomor dua setelah Departemen Agama. Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.
G. Post Scriptum
Dari deskripsi di atas, kinerja pendidikan nasional Indonesia memang buruk dan memprihatinkan. Itu semua terjadi dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, beberapa diantaranya dapat terlihat jelas dari pengalokasian anggaran pendidikan yang rendah dan kurang memadai, manajerial keuangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak kunjung membaik, output SDM yang kurang kompetitif, dan sebagainya.
Sektor pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan, maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebab, apabila seruan hanya ditujukan untuk terpenuhinya dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan besar-besaran. Akhirnya, baik anggaran pendidikan yang besar maupun kecil sama-sama tidak memperbaiki mutu pendidikan nasional, juga tidak mengurangi beban masyarakat.
Dalam konteks ini, kita perlu berlapang dada tanpa rasa malu sebagaimana Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan memajukan pendidikannya, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International, Malaysia yang pada tahun 1970 belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri, Jepang telah menjadi negara industri terkemuka di dunia, India mampu memainkan peranannya di berbagai tingkatan Internasional, dan Malaysia lambat laun mulai menjadi capital bagi Asia Tenggara.
Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa (character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi memajukan pendidikan Indonesia.
0 Komentar:
Posting Komentar
Isikan komentar anda menanggapi blog kami...
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda